Thursday 8 February 2018

Yang terjadi biarlah terjadi "Kamuflase Palsu"


Kadang tidak ada kata yang tepat untuk kita memberikan saran kepada orang yang sedang sakit hatinya secara logis. 

Meratapi pahitnya gores yang tupang tindih enggan menyapa senang karena hatinya risih pedih, kekuatan terbesar saat itu hanya semangat yang datangnya tertunda, yang meski terlambat minimal tidak segan-segan membangkitkan selera. 
sejauh ini pengharapan pada luka hanya ingin berakhirnya sebuah cerita yang nyatanya telah berakhir.

Tapi dengan itu setidaknya ada solusi agar rasa percaya diri tidak mati, mencoba terus memahami yang terjadi tanpa perlu mengeluh merintih iri.
keterbatasan kadang memang kendala rumit sampai tidak tahu cara mengukur dalam sempit, mencari tahu akan lebih baik dari pada menuruti luka yang tidak berkesudahan,
karena tidak lain dan tidak bukan itu sangat akan selalu menjadi tanggungan beban.
berjuang memang hal yang sulit dilakukan sampai ada yang menghalalkan segala cara untuk sampai pada tujuan, runtutan "pedih" memang menjadi bumbu dan 
tidak mungkin ditolak karena datangnya tanpa ditunggu,
halusinasi juga menjadi hias dalam diam saat-saat berjuang 
tahapan "senyum" mulai menerka ekspresi yang terlambat datang.
semangat kian hari semakin pudar dari mekar
mencemooh waktu yang selama ini di anggap tidak sadar, 
di pikiran lain terbesit sebuah maksud yang membuat lelah tidak jadi surut,
dengan mengukur tenaga agar mampu menopang langkah yang terhitung,
menguatkan hati yang kondisinya berubah arah agar mampu menanggung.

Dari sekian sudut yang kita pandangi, semuanya hampir bisa mengalah tuntaskan atas apa yang hadir dan menjadi sejarah selama ini. Pada rentetan senyum yang kusebut "Kamuflase" yang akan terus saja kita lihat, hadir dengan sapaan manja yang seolah tidak merasa terlibat dalam mengadu domba rasa yang kita salah artikan  dengan "pengharapan semu", karena semua itu hanyalah hal palsu.
Semua ini bisa kita jadikan sebagai "kaca spion" untuk membentuk evaluasi dalam diri, keterbukaan dalam menerima terhadap apa yang sudah terjadi membentuk fase ikhlas yang kadang kita sendiri belum bisa mengukur kerelaan yang sebenarnya, padahal kalimat pengharapan sudah kita bunuh pelan-pelan untuk mendapatkan kalimat sempurna yang berisi " Yang terjadi biarlah terjadi, Masih ada harapan esok pagi, selagi hayat masih dikandung badan, kau bisa bangkit lagi". 




















No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar

tantangan dan harapan